“Kalau aku bagi kau pilihan, antara si celaka dan si sempurna, mana yang kau pilih?”
Jawab aku,
“Bagi aku, berkawan dengan si celaka lebih baik. Lebih molek. Tahu kenapa? Si celaka tak cukup sifatnya. Sebab dia celaka. Tapi, dia jujur. Dia luhur. Macam mana namanya, macam itulah sifatnya. Dan dia sedar siapa dia, dia si celaka yang tak ada mahu mendampinginya.”
Ujar dia lagi,
“Kenapa kau tak pilih si sempurna? Apa kurangnya dia?”
Aku menarik nafas dalam, lalu berkata,
“Berkawan dengan si sempurna banyak songehnya. Untuk apa berkawan dengan si sempurna? Supaya dapat bermegah sentiasa? Supaya dijunjung serata dunia? Supaya dikenal oleh semua? Ah, itu semua busuk! Macam sandwich dalam plastic yang kau biarkan seminggu tak diusik. Baunya tengit! Kah kah kah!”
Lalu bersuara lagi aku, kini sebagai penanya.
“Kau rasa sempurna itu segala? Apa kurangnya kita? Yang serba tak ada, yang punya banyak cela, yang hanya tahu melontar suara jiwa setiap kali berkata-kata.”
Diam.
Dia diam. Dan aku memandangnya, senyum.
“Tapi kita punya kita-kita.”
Bisik aku, lalu berlalu.
Dyra J.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
harus diri kita yg jujur...tapi mampukah kita?
Sebab aku rasa sempurna aku jadi celaka
Ophanz, mampu kalau kau bicara guna jiwa.
Wawa, dan daripada celaka kita belajar jadi kita kan? Tak apa, proses.
:)
Thanks people!
ya.
kita ada kita-kita
bangsa kita!
Way to go, Eima! :)
cuba bicara lar guna jiwa..
dan lihat sejauh mana kita kita boleh melangkah...
Kenalkah engkau dengan kita-kita ophanz? Mereka jiwa aku. Dan dengan mereka lihat aku di mana sekarang. Kau tak kenal mereka, jangan tembak tak tentu hala. Mereka jiwa aku, mereka jiwa aku.
Post a Comment